Sekolah Pelita sangat terkenal dengan legenda
horrornya. Menurut survey yang telah dilakukan, sekolah Pelita merupakan
sekolah yang paling menyeramkan di provinsi DKI Jakarta. Setiap bulannya pasti
akan ada rombongan murid yang menginap di sekolah Pelita untuk uji nyali.
Bulan Maret telah tiba. Edo, salah satu peserta
kontes uji nyali sekolah Pelita sedang duduk di bawah pohon beringin yang
besar. Dengan raut wajahnya yang kusut, ia kemudian berdiri dan berjalan menuju
pintu masuk sekolah Pelita. Bulan Purnama menyinari pintu tersebut. Suara
jangkrik menghiasi suasana di sekitarnya. Seorang gadis berambut panjang
menghampirinya dari belakang. Kulitnya yang berwarna putih tampak berkilau
disinari bulan Purnama.
“Edo!”
panggilnya.
“Ada
apa, Vepe?” tanya Edo.
“Aku
takut.. Kamu kan tahu, aku tidak suka yang seram-seram.”
“Yang
namanya hantu itu tidak ada.” Edo berjalan pergi meninggalkan Vepe. Vepe tampak
panik dan tergesa-gesa mengejar Edo.
“Kring!” Bel berbunyi. Di bawah sinar purnama yang telah tertutup oleh awan
hitam, uji nyali sekolah Pelita yang ke-56 dimulai. Edo dan Vepe berjalan masuk
ke dalam sekolah dan bergabung dengan rombongannya. Jason, ketua panitia
pelaksana uji nyali sekolah Pelita maju ke depan rombongan. “Oke, sekarang kita
mulai. Bentuk kelompok yang terdiri dari 2 orang dan berpencarlah ke seluruh
penjuru sekolah. Bagi yang sudah menemukan bros sekolah Pelita boleh kembali ke
ruangan yang telah disediakan.” Jelas Jason.
Edo dan Vepe membentuk kelompok masing-masing. Dengan raut wajah yang kusut
dan cuek, Edo berjalan ke arah yang sama dengan kelompok Vepe. Namun, kelompok
Edo berada jauh di belakang kelompok Vepe. Edo tetap berjalan menaiki tangga
menuju lantai 2 dengan cuek seolah di dalam gedung sekolah yang tanpa
penyinaran itu adalah rumahnya sendiri. Sementara Vepe berjalan dengan ekspresi
yang tidak bisa didefinisikan. Air matanya hampir menetes keluar. Suara
jangkrik yang pada mulanya menghiasi suasana malam hari kini menghilang. Bulan
Purnama yang menyinari gedung sekolah kini tertutup penuh oleh gumpalan hitam
di langit. Bersamaan dengan hal tersebut sampailah kedua kelompok itu di lantai
3.
“Reg, lu masih di samping gua kan?” Tanya Edo pada teman sekelompoknya.
“Iya ini gua di samping lu. Kenapa? Takut?” Balas Reg.
“Yang namanya hantu itu tidak ada.” Edo terus melanjutkan perjalanannya
dengan perlahan. Sampai akhirnya ia berada di depan suatu ruangan kelas.
“AAAAA!!” Terdengar suara teriakan dari dalam ruangan kelas tersebut. Edo
yang mengenal jelas suara teriakan tersebut segera berlari menuju ke asal suara tersebut sambil menarik tangan
Reg. Namun ketika Edo masuk ke dalam ruangan tersebut, tangan Reg terlepas.
“Reg, ikutin gua!” Teriak Edo. Namun tidak ada balasan dari Reg. Sosok Reg
seakan menghilang begitu saja. “Reg? Reg kau dimana?” Edo berhenti sejenak.
Terdengar suara tangisan seorang wanita di ujung kelas. Sempat merinding
sejenak, kemudian Edo berjalan menuju asal suara tersebut.
“Vepe, kan? Ada apa?” Tanya Edo.
“Ola.. Ola hilang!” jawab Vepe dengan suara yang bergetar. Sekujur tubuhnya
bergetar seakan disetrum oleh listrik. Edo kemudian terdiam. Karena hal yang
sama terjadi padanya. Reg hilang.
“Tenang, ini masih di sekolah.” Edo berusaha menenangkan Vepe.
“Bagaimana kalau Ola diculik hantu??” Tangisan Vepe semakin keras. Nafasnya
mulai tidak beraturan.
“Vepe, yang namanya hantu itu tidak ada.”
“Tapi..tapi.. Kalau beneren gima..” Ucapan Vepe dihentikan oleh Edo. Suara
langkah kaki terdengar mendekati ruangan kelas tempat mereka berada. Saat ini
posisi Edo dan Vepe adalah di depan lemari yang berada di pojok kelas. Tidak
ada cara lain melainkan tetap diam hingga langkah kaki tersebut menghilang.
Bukanlah langkah kaki biasa yang mendekati mereka, namun suara langkah kaki
yang berirama seperti ayunan tua yang digerakkan. Kreek, kreek. Seperti itulah
suaranya.
Semakin lama, suara langkah kaki tersebut semakin mendekat. Vepe mulai kehilangan
kesadarannya namun dicegah oleh Edo. Edo dan Vepe kemudian memutuskan untuk
bersembunyi di dalam lemari di belakang mereka. Di dalam perabot berkualitas
yang terbuat dari kayu tersebut, mereka berusaha menahan nafas dan bertindak
seperti benda mati. Langkah kaki tersebut menghilang. Edo menghela nafas.
Kemudian ia merasa ada sesuatu yang basah di kakinya. “Vepe ngompol?” tanyanya.
Vepe menggeleng sembari meneteskan air mata. Edo membuka pintu lemari kemudian
berusaha melihat cairan apa yang ada di dasar lemari tersebut. Vepe kembali
menangis histeris.
“Darah!” Vepe berlari keluar kelas. Edo mendecak lalu keluar kelas mengejar
Vepe. Setelah berhasil menangkap Vepe, Edo membawanya duduk di tepi koridor
lantai 3 yaitu di depan kantor guru. Dengan punggung yang bersender ke tembok,
Edo berusaha mengatur nafasnya dan menenangkan Vepe. Edo mengelus kepala Vepe.
Dari kecil, Edo dan Vepe tumbuh bersama. Edo selalu menganggap Vepe seperti
adik sendiri. Edo tersenyum kecil. Vepe akhirnya tenang dan dapat bernafas
seperti biasa. Senyum kecil Edo hilang ketika suatu bayangan hitam muncul dari
belakang. Padahal, yang ada di belakang mereka hanyalah tembok yang dilapisi
oleh keramik. Suatu benda mulai menyentuh pinggang Edo. Perlahan naik menuju ke
punggung, namun ke leher. Terasa seperti dua tangan yang hangat namun dingin.
Keringat mulai mengucur deras. Edo menarik tangan Vepe lalu berlari. Sosok
tersebut mengejar mereka di belakang dengan suara langkah kaki yang berirama
seperti sebelumnya. Edo berlari secepat kijang yang menggenggam kuat tangan
Vepe.
Menaiki tangga yang cukup curam, Edo terus berusaha menjauhkan diri dari
suara langkah kaki tersebut. Namun langkahnya terhenti dan Edo terjatuh ketika
genggaman tangan Vepe terlepas darinya.
“Vepe! Jangan lepasin tanganku!” Teriak Edo. “Ayo, lanjut lari!” Edo meraba
kesana dan kemari mencari tangan Vepe. “Vepe?” Akan tetapi ia tidak
menemukannya.
“Edo!” Terdengar suara teriakan Vepe di bawah tangga. Pada saat itu sinar
purnama berhasil menembus gumpalan hitam yang berusaha menutupinya. Tampak
dengan jelas bahwa Vepe sedang ditahan oleh sosok makhluk hitam yang besar. Edo
menelan ludah. Sosok hitam itu berlari membawa Vepe pergi. Edo yang mengingat
kejadian dimana Reg dan Ola yang tidak kembali hingga sekarang putus asa dan
terduduk lemas. Ia kemudian bangkit dan mengejar sosok hitam tersebut. Sambil
berlari, kini suara cekikikan yang menusuk telinga muncul dari sekeliling Edo.
“Aku tidak percaya pada hantu!” Teriak Edo.
Akhirnya Edo berhasil menangkap sosok yang membawa Vepe pergi. Ternyata
sosok tersebut tidak lain adalah Jason, ketua pengurus acara uji nyali sekolah
Pelita.
“Selamat! Kalian lulus uji nyali ini.” Kata Jason.
“Hah? Eh..? Jadi selama ini..?” Edo terdiam sejenak.
“Seperti inilah uji nyali sekolah Pelita. Jadi kalian sebenarnya tidak
perlu mencari bros.” Jason mengelap keringatnya yang bercucuran deras.
“Berarti.. hantu itu tidak ada, kan?” tanya Vepe dengan suara yang
bergetar.
Edo, Vepe, dan Jason berjalan ke ruangan yang telah disiapkan oleh panitia.
Reg dan Ola sudah menunggu mereka disana. Acara uji nyali bulan ini telah
selesai. Edo dan Vepe hanya menghela nafas dan beristirahat. Aroma teh
menguasai ruangan tersebut. Setelah bersantai sejenak, Vepe berjalan ke toilet
seorang diri. Ia mencuci mukanya di wastafel. Namun, terdengar suara langkah
kaki dari belakangnya. Bayangan hitam muncul dari belakang Vepe.
Terima kasih sudah membaca :)