Minggu, 24 Agustus 2014

Langkah Kaki di Koridor Sekolah




Sekolah Pelita sangat terkenal dengan legenda horrornya. Menurut survey yang telah dilakukan, sekolah Pelita merupakan sekolah yang paling menyeramkan di provinsi DKI Jakarta. Setiap bulannya pasti akan ada rombongan murid yang menginap di sekolah Pelita untuk uji nyali.
Bulan Maret telah tiba. Edo, salah satu peserta kontes uji nyali sekolah Pelita sedang duduk di bawah pohon beringin yang besar. Dengan raut wajahnya yang kusut, ia kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu masuk sekolah Pelita. Bulan Purnama menyinari pintu tersebut. Suara jangkrik menghiasi suasana di sekitarnya. Seorang gadis berambut panjang menghampirinya dari belakang. Kulitnya yang berwarna putih tampak berkilau disinari bulan Purnama.
                “Edo!” panggilnya.
                “Ada apa, Vepe?” tanya Edo.
                “Aku takut.. Kamu kan tahu, aku tidak suka yang seram-seram.”
                “Yang namanya hantu itu tidak ada.” Edo berjalan pergi meninggalkan Vepe. Vepe tampak panik dan tergesa-gesa mengejar Edo.
“Kring!” Bel berbunyi. Di bawah sinar purnama yang telah tertutup oleh awan hitam, uji nyali sekolah Pelita yang ke-56 dimulai. Edo dan Vepe berjalan masuk ke dalam sekolah dan bergabung dengan rombongannya. Jason, ketua panitia pelaksana uji nyali sekolah Pelita maju ke depan rombongan. “Oke, sekarang kita mulai. Bentuk kelompok yang terdiri dari 2 orang dan berpencarlah ke seluruh penjuru sekolah. Bagi yang sudah menemukan bros sekolah Pelita boleh kembali ke ruangan yang telah disediakan.” Jelas Jason.
Edo dan Vepe membentuk kelompok masing-masing. Dengan raut wajah yang kusut dan cuek, Edo berjalan ke arah yang sama dengan kelompok Vepe. Namun, kelompok Edo berada jauh di belakang kelompok Vepe. Edo tetap berjalan menaiki tangga menuju lantai 2 dengan cuek seolah di dalam gedung sekolah yang tanpa penyinaran itu adalah rumahnya sendiri. Sementara Vepe berjalan dengan ekspresi yang tidak bisa didefinisikan. Air matanya hampir menetes keluar. Suara jangkrik yang pada mulanya menghiasi suasana malam hari kini menghilang. Bulan Purnama yang menyinari gedung sekolah kini tertutup penuh oleh gumpalan hitam di langit. Bersamaan dengan hal tersebut sampailah kedua kelompok itu di lantai 3.
“Reg, lu masih di samping gua kan?” Tanya Edo pada teman sekelompoknya.
“Iya ini gua di samping lu. Kenapa? Takut?” Balas Reg.
“Yang namanya hantu itu tidak ada.” Edo terus melanjutkan perjalanannya dengan perlahan. Sampai akhirnya ia berada di depan suatu ruangan kelas.
“AAAAA!!” Terdengar suara teriakan dari dalam ruangan kelas tersebut. Edo yang mengenal jelas suara teriakan tersebut segera berlari menuju ke  asal suara tersebut sambil menarik tangan Reg. Namun ketika Edo masuk ke dalam ruangan tersebut, tangan Reg terlepas.
“Reg, ikutin gua!” Teriak Edo. Namun tidak ada balasan dari Reg. Sosok Reg seakan menghilang begitu saja. “Reg? Reg kau dimana?” Edo berhenti sejenak. Terdengar suara tangisan seorang wanita di ujung kelas. Sempat merinding sejenak, kemudian Edo berjalan menuju asal suara tersebut.
“Vepe, kan? Ada apa?” Tanya Edo.
“Ola.. Ola hilang!” jawab Vepe dengan suara yang bergetar. Sekujur tubuhnya bergetar seakan disetrum oleh listrik. Edo kemudian terdiam. Karena hal yang sama terjadi padanya. Reg hilang.
“Tenang, ini masih di sekolah.” Edo berusaha menenangkan Vepe.
“Bagaimana kalau Ola diculik hantu??” Tangisan Vepe semakin keras. Nafasnya mulai tidak beraturan.
“Vepe, yang namanya hantu itu tidak ada.”
“Tapi..tapi.. Kalau beneren gima..” Ucapan Vepe dihentikan oleh Edo. Suara langkah kaki terdengar mendekati ruangan kelas tempat mereka berada. Saat ini posisi Edo dan Vepe adalah di depan lemari yang berada di pojok kelas. Tidak ada cara lain melainkan tetap diam hingga langkah kaki tersebut menghilang. Bukanlah langkah kaki biasa yang mendekati mereka, namun suara langkah kaki yang berirama seperti ayunan tua yang digerakkan. Kreek, kreek. Seperti itulah suaranya.
Semakin lama, suara langkah kaki tersebut semakin mendekat. Vepe mulai kehilangan kesadarannya namun dicegah oleh Edo. Edo dan Vepe kemudian memutuskan untuk bersembunyi di dalam lemari di belakang mereka. Di dalam perabot berkualitas yang terbuat dari kayu tersebut, mereka berusaha menahan nafas dan bertindak seperti benda mati. Langkah kaki tersebut menghilang. Edo menghela nafas. Kemudian ia merasa ada sesuatu yang basah di kakinya. “Vepe ngompol?” tanyanya. Vepe menggeleng sembari meneteskan air mata. Edo membuka pintu lemari kemudian berusaha melihat cairan apa yang ada di dasar lemari tersebut. Vepe kembali menangis histeris.
“Darah!” Vepe berlari keluar kelas. Edo mendecak lalu keluar kelas mengejar Vepe. Setelah berhasil menangkap Vepe, Edo membawanya duduk di tepi koridor lantai 3 yaitu di depan kantor guru. Dengan punggung yang bersender ke tembok, Edo berusaha mengatur nafasnya dan menenangkan Vepe. Edo mengelus kepala Vepe. Dari kecil, Edo dan Vepe tumbuh bersama. Edo selalu menganggap Vepe seperti adik sendiri. Edo tersenyum kecil. Vepe akhirnya tenang dan dapat bernafas seperti biasa. Senyum kecil Edo hilang ketika suatu bayangan hitam muncul dari belakang. Padahal, yang ada di belakang mereka hanyalah tembok yang dilapisi oleh keramik. Suatu benda mulai menyentuh pinggang Edo. Perlahan naik menuju ke punggung, namun ke leher. Terasa seperti dua tangan yang hangat namun dingin. Keringat mulai mengucur deras. Edo menarik tangan Vepe lalu berlari. Sosok tersebut mengejar mereka di belakang dengan suara langkah kaki yang berirama seperti sebelumnya. Edo berlari secepat kijang yang menggenggam kuat tangan Vepe.
Menaiki tangga yang cukup curam, Edo terus berusaha menjauhkan diri dari suara langkah kaki tersebut. Namun langkahnya terhenti dan Edo terjatuh ketika genggaman tangan Vepe terlepas darinya.
“Vepe! Jangan lepasin tanganku!” Teriak Edo. “Ayo, lanjut lari!” Edo meraba kesana dan kemari mencari tangan Vepe. “Vepe?” Akan tetapi ia tidak menemukannya.
“Edo!” Terdengar suara teriakan Vepe di bawah tangga. Pada saat itu sinar purnama berhasil menembus gumpalan hitam yang berusaha menutupinya. Tampak dengan jelas bahwa Vepe sedang ditahan oleh sosok makhluk hitam yang besar. Edo menelan ludah. Sosok hitam itu berlari membawa Vepe pergi. Edo yang mengingat kejadian dimana Reg dan Ola yang tidak kembali hingga sekarang putus asa dan terduduk lemas. Ia kemudian bangkit dan mengejar sosok hitam tersebut. Sambil berlari, kini suara cekikikan yang menusuk telinga muncul dari sekeliling Edo.
“Aku tidak percaya pada hantu!” Teriak Edo.
Akhirnya Edo berhasil menangkap sosok yang membawa Vepe pergi. Ternyata sosok tersebut tidak lain adalah Jason, ketua pengurus acara uji nyali sekolah Pelita.
“Selamat! Kalian lulus uji nyali ini.” Kata Jason.
“Hah? Eh..? Jadi selama ini..?” Edo terdiam sejenak.
“Seperti inilah uji nyali sekolah Pelita. Jadi kalian sebenarnya tidak perlu mencari bros.” Jason mengelap keringatnya yang bercucuran deras.
“Berarti.. hantu itu tidak ada, kan?” tanya Vepe dengan suara yang bergetar.
Edo, Vepe, dan Jason berjalan ke ruangan yang telah disiapkan oleh panitia. Reg dan Ola sudah menunggu mereka disana. Acara uji nyali bulan ini telah selesai. Edo dan Vepe hanya menghela nafas dan beristirahat. Aroma teh menguasai ruangan tersebut. Setelah bersantai sejenak, Vepe berjalan ke toilet seorang diri. Ia mencuci mukanya di wastafel. Namun, terdengar suara langkah kaki dari belakangnya. Bayangan hitam muncul dari belakang Vepe.

Terima kasih sudah membaca :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar